Scroll untuk baca berita terbaru
Example 325x300
325x300
NasionalPemerintahan

Terlalu Rumit, BULD DPD RI akan Mengusulkan Penyederhanaan Prosedur Penetapan Masyarakat Adat

847
×

Terlalu Rumit, BULD DPD RI akan Mengusulkan Penyederhanaan Prosedur Penetapan Masyarakat Adat

Sebarkan artikel ini
Stefanus BAN Liow, BULD DPD RI, masyarakat adat
RDPU BULD DPD RI tentang masyarakat adat

JAKARTA, gosulut.com–Keterhubungan antara masyarakat adat, pemerintah daerah, dan kementerian sangat kompleks. Selain membedakan pengaturan di Peraturan Daerah (Perda) atau bukan Perda atas teritori masyarakat adat yang berada di kawasan hutan atau bukan, pengajuan hak masyarakat adat harus ke kementerian sektoral dengan syarat yang berbeda. Hanya saja, saat ini prosedurnya terbilang rumit.

Untuk itu, Badan Urusan Legislasi Daerah (BULD) Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) akan mengusulkan penyerhanaan prosedur penetapan masyarakat adat.

Keberadaan perda masyarakat adat sangatlah perlu, tetapi bukan untuk menetapkan masyarakat adat, melainkan untuk pemberdayaan dan penguatan kapasitas masyarakat adat. Penetapan masyarakat adat cukup dilakukan melalui prosedur pendaftaran.

Demikian kesimpulan pendapat dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) BULD DPD RI di Ruang Rapat Mataram lantai 2 Gedung B DPD RI Senayan, Jakarta, Rabu (5/3/2025).

RDPU BULD DPD RI membahas hasil pemantauan dan evaluasi Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) dan Perda tentang masyarakat adat dengan menghadirkan tiga narsumber, yaitu Deputi Bidang Politik dan Hukum Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Erasmus Cahyadi, Peneliti Pusat Kajian Hukum Adat Djojodigoeno Universitas Gadjah Mada (UGM) Sartika Intaning Pradhani, dan Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Adat (APHA) Dominikus Rato (Fakultas Hukum Universitas Jember).

Saat memimpin RDPU tersebut, Ketua BULD DPD RI Stefanus BAN Liow, senator asal Sulawesi Utara didampingi dua Wakil Ketua, yaitu Abdul Hamid (senator asal Riau), dan Marthin Billa (senator asal Kalimantan Utara) dalam pengantarnya menyatakan, BULD DPD RI ingin menggali apa yang menghambat pengaturan berbagai aspek kehidupan masyarakat hukum adat sesuai amanat UUD 1945 ke dalam peraturan perundang-undangan. Apalagi dalam peraturan di tingkat daerah.

‘’Untuk memastikan masyarakat adat diatur sesuai prinsip- prinsip UU yang lebih tinggi, kami fokus membahas masyarakat hukum adat,’’ katanya.

Erasmus Cahyadi dalam paparannya menjelaskan potret pengakuan masyarakat adat dan hak tradisionalnya dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) dan undang-undang.

UUD 1945 Pasal 18 B ayat (2) menyatakan, negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pengakuan dan penghormatan terhadap masyarakat adat dan hak tradisionalnya melalui undang-undang, konsekuensinya menjadikan mereka sebagai unit pemerintahan di level desa.

Kemudian, Pasal 28 I ayat (3) menyatakan, identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban. Pasal ini terletak dalam bab hak asasi manusia (HAM) sehingga negara terikat kepada tanggungjawabnya untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi HAM.

Sebagai derivasi UUD 1945, Pasal 67 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (UU 41/1999) menegaskan bahwa pengukuhan masyarakat adat adalah melalui peraturan daerah. Undang-undang yang mengatur pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, yaitu UU 27/2007 juncto UU 1/2014 mengatur produk hukumnya seperti peraturan daerah dan peraturan bupati.

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat (Permendagri 52/2014) menjabarkan persyaratan konstitusi sebagai kerangka pembuktian eksistensi masyarakat adat di suatu daerah melalui identifikasi, verifikasi, validasi, dan penetapan masyarakat adat.

Sayangnya, meskipun UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah mengatur pengakuan dan penghormatan terhadap masyarakat adat dan hak tradisionalnya melalui perda, desakan pembentukan perda masyarakat adat tidak direspon karena pemerintah daerah (pemda) berpandangan belum ada UU khusus yang mengatur masyarakat adat. ‘’Padahal UU Kehutanan, misalnya, mengatur bahwa masyarakat adat dikukuhkan melalui perda. “Banyak pemerintah daerah enggan,’’ katanya.

Lagi pula, pandangan sebagian pemda yang menunggu UU khusus tentang masyarakat adat adalah bentuk ketidaksadaran terhadap wewenangnya bahwa pemda berwewenang untuk membentuk peraturan dalam rangka melaksanakan peraturan di atasnya dan memenuhi kebutuhan masyarakat di daerahnya.

Sartika Intaning Pradhani menjelaskan tantangan hukum adat dalam kebijakan publik, yaitu upaya memahami keberfungsian hukum adat dalam MHA, upaya memahami MHA sebagai wilayah sosial semi otonom yang heteronom dan terus berkembang dalam realitas pluralisme hukum lokal, nasional, regional, dan global, serta upaya membuat hukum menyediakan keadilan substantif.

Mengenai upaya memahami MHA sebagai wilayah sosial semiotonom, dia mengatakan itu karena tidak melihat mereka terisolasi. ‘’Wilayah sosial semiotonom didefinisikan dan dibatasi bukan oleh bentuk organisasinya tetapi karena karakteristik

prosesnya. Wilayah tersebut dapat menciptakan hukum dan memaksa atau mendorong ketaatan hukum dalam wilayah itu,’’ tandasnya.

Menurutnya, tatanan hukum yang saling bergantung yang memiliki legitimasi yang berbeda dan didasarkan kepada struktur organisasi yang berbeda tersebut dirangkum sebagai pluralisme hukum. Sehingga, pluralisme hukum kuat karena tertib hukum yang berlaku tidak seragam dan sistematis tetapi pluralisme hukum lemah karena dalam sistem hukum yang paralel dan sentralisme melalui kontrol hukum negara sebagai fokus utamanya.

Dominikus Rato membahas peran perguruan tinggi. Peran perguruan tinggi di tengah masyarakat, termasuk masyarakat hukum adat, dimulai setelah didahului kiprah Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMA), Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Sajogyo Institute, Konsorsium Nasional untuk Pelestarian Hutan dan Alam Indonesia (KONPHALINDO), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), dan AMAN, karena para akademisi, baik pribadi maupun melalui beberapa organisasi, memberikan perhatian.

Dia menjelaskan, beberapa kali AMAN dan APHA memberikan dukungan seperti amicus curiae, membahas RUU Pengakuan Masyarakat Hukum Adat, mengajukan permohonan uji materiil UU, mengritisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), menyusun naskah akademik RUU, Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP), dan ranperda.

Sejumlah anggota BULD DPD RI memberikan tanggapan. Ahmad Bastian Sy (senator asal Lampung) menyinggung hukum adat sebagai sumber hukum nasional.

Ni Luh Putu Ary Pertami Djelantik (senator asal Bali) menceritakan masyarakat adat di Bali sejumlah 1543 desa adat. ‘’Menjaga tradisi adat harus diperjuangkan. Karena itu, perjuangan meloloskan RUU ini harus dilanjutkan. Menjadi legacy kita kepada rakyat Indonesia,’’ ujarnya.

Syarif Melvin (senator asal Kalimantan Barat) menyinggung konflik masyarakat adat dengan perusahaan yang tidak kunjung selesai karena pengabaikan negara terhadap hak masyarakat adat. ‘’Di mana pun kasusnya sama, hak masyarakat harus dikembalikan agar tidak ada lagi konflik,’’ katanya seraya menambahkan Republik Indonesia harus menghargai masyarakat hukum adat.”

Agustinus R Kambuaya (senator asal Papua Barat Daya) menegaskan urgensi pengesahan RUU yang mengatur masyarakat adat. Narasi ‘masyarakat adat yang kuat bukan berarti negara lemah’ harus dipertegas agar semua pihak menerima pengesahan RUU ini. ‘’Karena itu, UU ini harus didorong untuk disahkan. Mengapa UU tidak bisa disahkan cepat?’’ katanya.

Darmansyah Husein (senator asal Kepulauan Bangka Belitung) menyebut satuan masyarakat hukum adat di wilayahnya masih hidup, sementara Elviana (senator asal Jambi) menekankan agar pengesahan RUU Masyarakat Adat tidak menjadi sumber konflik.

Marthin Billa (senator asal Kalimantan Utara) menceritakan pengalamannya selaku kepala daerah dalam pengesahan tanah adat yang dilindungi dan pengesahan peraturan daerah tentang pengakuan hukum adat. ‘’Adat adalah hal fundamental. Perekat bangsa,’’ucapnya.

BULD DPD RI menginventarisasi pandangan dan masukan pakar dalam rangka pemantauan dan evaluasi ranperda dan perda terkait masyarakat adat, yang dilakukan dalam kerangka harmonisasi regulasi pusat-daerah. BULD DPD RI ingin memastikan bahwa regulasi di daerah sejalan dengan pusat sekaligus mendorong pusat agar mengeluarkan regulasi yang memperhatikan aspirasi daerah.(*/atk)