Bisnis dan EkonomiEnergiLingkunganNasionalPemerintahanSulut

BI Bakal Lanjutkan Penguatan Kebijakan Keuangan Hijau

6602
×

BI Bakal Lanjutkan Penguatan Kebijakan Keuangan Hijau

Sebarkan artikel ini
Deputi BI Dody Waluyo (tengah) didampingi Kepala Perwakilan BI Sulut berdialog dengan Gubenur Olly Dondokambey

MANADO – Bank Indonesia akan melanjutkan penguatan kebijakan keuangan hijau yang salah satunya ditujukan untuk memitigasi risiko terhadap stabilitas sistem keuangan. Penguatan atas kebijakan keuangan hijau itu akan dilakukan antara lain melalui kebijakan makroprudensial, pendalaman pasar keuangan, pengembangan ekonomi, dan keuangan inklusif.

“Kami ingin proses transformasi kelembagaan BI keseluruhannya memperhatikan lingkungan. Dan nantinya kebijakan ini menurun ke lembaga-lembaga keuangan,” kata Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Dody Budi Waluyo dalam North Sulawesi Investment Forum dan Road to Pleno ISEI 2022, di Novotel Grand Kawanua Manado, Senin (15/08/2022).

Dalam penguatan dan implementasinya, kata Dody, BI akan terus bersinergi dan melakukan koordinasi erat dengan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), Kementerian/Lembaga, dan stakeholders terkait.

BI dalam hal ini, katanya, telah aktif melakukan inisiatif ekonomi hijau sejak sepuluh tahun yang lalu. Inisiatif ini dilakukan BI dengan bekerja sama dengan berbagai pihak di dalam negeri khususnya Kementerian dan Otoritas seperti Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), OJK, hingga beberapa forum keuangan hijau di luar negeri seperti Network for Greening Financial System (NGFS). 

Pada inisiatif kebijakan, BI telah menerbitkan kebijakan Green LTV bagi properti dan kendaraan berwawasan lingkungan. 

Sementara pada sisi internal BI melakukan inisiatif seperti pengalokasian investasi berkelanjutan dalam bentuk penempatan portofolio cadangan devisa hijau.

Dody menjelaskan sustainable Finance merupakan isu yang pembahasannya terus menghangat dari waktu ke waktu, tidak hanya karena targetnya yang oleh sebagian negara anggota G20 dianggap cukup ambisius, tetapi juga urgensi untuk melaksanakan komitmen dalam pengendalian kerusakan iklim karena adanya kemungkinan dampak yang lebih parah kepada kehidupan sosial dan perekonomian bila tidak segera ditangani lebih lanjut.

Bagi banyak negara, lanjutnya, terutama yang bergantung pada energi berbasis fosil seperti halnya Indonesia, pihaknya memahami betul bahwa tindakan mitigasi perubahan iklim bukanlah langkah yang mudah, karena ketergantungan kita yang tinggi kepada sumber energi dan ekspor komoditas mineral. 

“Ke depan tuntutan global atas penerapan standard ekonomi hijau dan keuangan berlanjutan akan semakin tinggi. Bagi negara yang tidak sejalan dengan prinsip tersebut akan terekspos beberapa tantangan baru, sebagai contoh tambahan pajak karbon untuk produk ekspor dan pengenaan biaya modal yang lebih mahal bagi entitas industri yang tinggi karbon,” ujarnya.

Untuk mengantisipasi berbagai tantangan dan permasalahan tersebut, para pemangku kepentingan perlu mengidentifikasi lebih lanjut potensi investasi hijau untuk sektor-sektor ekonomi yang potensial di daerah, serta sektor eksisting lainnya untuk bertransisi menuju ekonomi hijau. 

Dalam hal ini otoritas dan pelaku pasar keuangan telah mengembangkan berbagai pendekatan dan alat untuk mengidentifikasi, memverifikasi, dan menyelaraskan investasi berkelanjutan yang berorientasi pada proyek-proyek hijau untuk dipedomani, baik itu dalam bentuk taksonomi keuangan hijau, maupun kalkulator jejak karbon nasional.(red)