Hukum

Sampaikan Eksepsi, Erick Mingkid Sebut Proses Penyelidikan Peggy Cacat Yuridis

41
×

Sampaikan Eksepsi, Erick Mingkid Sebut Proses Penyelidikan Peggy Cacat Yuridis

Sebarkan artikel ini

MINAHASA – Erick Evan Mingkid, SH kuasa hukum terdakwa berinisial PM alias Peggy menyebutkan bahwa proses penyelidikan kliennya cacat yuridis. Hal itu disampaikannya dalam sidang atas surat dakwaan penuntut umum dalam perkara pidana nomor 116/Pid.Sus/2022/PN.Tnn, di Pengadilan Negeri Tondano, Selasa (2/8/2022).

Dalam pembacaan eksepsi, Mingkid menyebut bahwa adanya kejanggalan dalam proses penyelidikan dan penyidikan sehingga tidak sesuai, mengandung cacat yuridis yang terbukti dari alat bukti berupa rekaman video melalui barang bukti telepon genggam merk OPPO CPH2235 atau Reno6 yang awalnya berdurasi 3 menit 19 detik telah terpotong-potong atau diedit tidak utuh lagi, yang kemudian transkrip yang sudah cacat itu menjadi dasar keterangan ahli sebagai alat bukti dalam BAP.

“Atas hal tersebut saya selaku kuasa hukum dari terdakwa menyimpulkan bahwa melalui surat dakwaan yang dibuat berdasarkan BAP yang cacat yuridis adalah batal demi hukum. Oleh karena surat dakwaan didasarkan atas sumber data yang validitasnya diragukan ini melalui rekaman video yang sudah cacat, maka surat dakwaan yang demikian harus dinyatakan tidak cermat dan tidak jelas sehingga batal demi hukum,” tegas Mingkid.

Kemudian, karena surat dakwaan penuntut umum tidak sesuai sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 63 Ayat (2) KUHP, sehingga menjadi tumpang tindih, ragu-ragu dan kabur maka harus dinyatakan ditolak dan batal demi hukum. Selain itu, bahwa surat dakwaan penuntut umum ternyata tidak memenuhi syarat-syarat yang ditentukan Pasal 143 Ayat (2) huruf b, maka harus dinyatakan ditolak dan batal demi hukum.

Sebelumnya, lanjut Mingkid, laporan yang menjadi akar atau penyebab dalam perkara ini adalah tentang kalimat yang diucapkan terdakwa bertempat di ruang tamu rumahnya, yang ditujukan kepada saksi pelapor berinisial AG alias Adi pada waktu itu, tepatnya Senin (11/4/2022) sekitar pukul 11.30 WITA.

Peristiwa berawal ketika saksi pelapor Adi berkunjung ke rumah terdakwa Peggy yang langsung masuk naik ke lantai dua ruang tamu tanpa izin tuan rumah, yang nanti kemudian terdakwa menyusul ke rumahnya, didapatnya saksi pelapor bersama beberapa orang mengenakan pakaian sipil dan berpakaian uniform polisi sudah berada di ruang tamu rumahnya. Kemudian, saksi pelapor sudah duduk dengan angkuh dalam posisi ongkang kaki bahkan ketika terdakwa masuk saksi pelapor menatap saja dengan tatapan sinis.

Kemudian terdakwa langsung menuju kebelakang untuk mengambil air minum karena kehausan disebabkan dirinya berlari dari kantor tempat kerjanya di seberang jalan dengan jarak sekitar 30-40 meter dari rumahnya, setelah itu terdakwa bergabung dengan saksi pelapor cs di sofa, dan mulailah pembicaraan.

Dalam situasi komunikasi perbincangan itu suasananya tidak mengenakan bagi terdakwa karena saksi pelapor melakukan pembicaraan yang mengintimidasi di dalam rumah terdakwa yang membuat dirinya merasa tertekan, sehingga hal itu memicu terdakwa melakukan pembelaan darurat, adanya daya paksa yang menjadi pendorong bagi terdakwa untuk membela diri, disitulah terdakwa mengucapkan kalimat dalam dialek Bahasa Manado “ini ngoni so duduk ne, ko ne, aduh cina tare mar tukang hugel, satu saat kita akan dapa” yang dibalas oleh saksi pelapor “ngana, ngana rasis ngana”.

Dirinya menjelaskan, mengenai kalimat yang diucapkan terdakwa dalam ragam dialek Tondano dengan Bahasa Melayu Manado adalah kalimat yang biasa dan tidak mengandung tendensi penghinaan, justru kalimat ini dalam ragam dialek Tondano berbahasa Melayu Manado merupakan ungkapan keprihatinan yang didalamnya ada makna merasa kasihan, iba atau dalam pengertian lain ada rasa sesal dan heran, orang yang memiliki keturunan darah Cina/Tionghoa, kenapa bisa berprilaku demikian.

“Bahwa kalimat iba/kasihan tersebut diungkapkan oleh terdakwa, karena ia memiliki faktor pembanding karena suaminya memiliki keturunan darah Cina/Tionghoa yang sama dengan saksi pelapor Adi,” jelasnya.

Sebab, lanjut Mingkid, dalam pemahaman terdakwa Peggy, bahwa orang yang memiliki keturunan darah Cina/Tionghoa dipandang, dilihat, dirasa, digauli sehari-hari dalam berprilaku tidak seperti saksi pelapor Adi.

Oleh sebab itu, sangat keliru kalimat ucapan terdakwa tersebut dipreteli, dipotong kemudian dijadikan dasar untuk pemenuhan unsur delik dalam BAP dan surat dakwaan penuntut umum. “Juga kalimat itu diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh ahli yang menurut pemahaman saya selaku kuasa hukum terdakwa bahwa pendapat ahli yang dituangkan/dimuat dalam BAP adalah pendapat yang tidak kapabel karena tidak memahami majas (gaya bahasa) dan gramatika (tata bahasa) dan etimologi (ilmu asal usul kata) dialek Tondano dalam Bahasa Melayu Manado, sehingga kata-kata dalam kalimat ucapan dari terdakwa menjadi bias berubah artinya dan maknanya,” terangnya.

Perbuatan terdakwa dilakukan di ruang tamu terletak di lantai dua di dalam rumahnya, bukan di tempat parkir yang terletak di bagian bawah di halaman depan rumah seperti yang dikatakan saksi pelapor. “Perbuatan terdakwa tidak ada unsur sengaja, tapi justru muncul dengan tiba-tiba dalam keadaan yang memaksa karena merasa terancam dan atau diancam,” katanya.

Perbuatan terdakwa dilakukan dalam tekanan memaksa untuk melakukan perlawanan terhadap saksi pelapor Adi cs yang masuk kedalam rumah terdakwa tanpa izin, bahkan dengan niat buruk dan sudah direncanakan untuk datang menemui anak terdakwa berinisial BLS alias Brief.

Pada waktu itu, saksi pelapor Adi datang bersama dengan lelaki berinisial FYR alias Fadly dan perempuan berinisial LR alias Lusye yang saat itu di TKP mengaku sebagai ibu mertua dari saksi pelapor Adi, bahkan ikut bersama-sama masuk ke rumah terdakwa tanpa izin tiga anggota Polri masing-masing EAE alias Erief, SSR alias Steven dan AM alias Alfian, namun dalam BAP anggota lainnya atas nama Alfian tidak dihadirkan untuk diperiksa, dimintai keterangan sebagai orang yang berada di TKP.

Bahkan, perlu diketahui, situasi dan kondisi yang terjadi pada waktu itu secara bersamaan ibu dari terdakwa Peggy berada dalam ruangan tersebut, dalam kondisi lanjut usia dan sakit-sakitan yang sementara duduk akhirnya mengalami syok karena ketakutan, justru semakin memicu tekanan batin terdakwa untuk melakukan perlawanan terhadap saksi pelapor Adi cs. Peristiwa itu pun menjadi penyebab yang berakibat terhadap ibu terdakwa menjadi lumpuh beberapa waktu kemudian setelah peristiwa tersebut.

Lebih lanjut dijelaskannya, ada perbuatan yang memiliki sifat melawan hukum, tetapi sifat melawan hukum dari perbuatan dapat dihapus sehingga perbuatan itu dapat dibenarkan demi hukum, karena yang melakukan perbuatan itu memperjuangkan dan atau mempertahankan haknya.

Artinya sifat melawan hukum atau unsur pidana dapat dijadikan dasar pembenaran dalam tindakan seseorang apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut; perbuatan itu dilakukan karena untuk membela badan/tubuh, untuk kehormatan atau harta benda sendiri ataupun orang lain; perbuatan itu dilakukan atas serangan yang melawan hukum yang terjadi pada saat itu juga, dengan kata lain perbuatan itu dilakukan setelah adanya ancaman serangan atau serangan yang mengancam pada dirinya; perbuatan sebagai perlawanan atau perbuatan sebagai pembelaan terpaksa yang harus dilakukan itu benar-benar terpaksa atau dalam keadaan darurat, tidak ada pilihan lain, perlawanan itu memang suatu keharusan untuk menghindari serangan yang melawan hukum terhadap dirinya. “Apabila perbuatan yang dilakukan terdakwa itu memenuhi ketiga syarat sebagaimana yang saya disebutkan tadi, maka perbuatan terdakwa dapat dibenarkan dan oleh karenanya sifat melawan hukum dari perbuatan klien saya dapat dihapuskan,” sebutnya.

Sayangnya hingga berita ini diterbitkan, penuntut umum maupun saksi pelapor belum bisa dikonfirmasi atau memberikan klarifikasi. (ric)