Bisnis dan EkonomiEnergiLingkunganNasionalPemerintahanPolitik

Krisis Iklim Kian Memburuk, Pendanaan Bank untuk Batu Bara Harus Dihentikan

55
×

Krisis Iklim Kian Memburuk, Pendanaan Bank untuk Batu Bara Harus Dihentikan

Sebarkan artikel ini

JAKARTA – Sejumlah aktivis penyelamatan lingkungan menyerukan agar ilmuwan yang tergabung dalam Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) harus segera bertindak untuk dapat meredam dampak krisis iklim agar tidak semakin memperburuk keadaan.

“Kini, krisis iklim telah membahayakan kehidupan bumi dan seluruh penghuninya,” ujar Jeri Asmoro, Indonesia Digital Campaigner 350.Org.

Semua pihak, katanya, punya peran yang besar untuk menghentikan krisis iklim ini, termasuk sektor perbankan.

“Perbankan punya peran besar di sini, sebagian perbankan masih menjadi pihak yang menyebabkan berbagai bencana iklim terus terjadi ketika masih mendanai proyek energi fosil,” ujarnya. “Kita semua mempertanyakan peran mereka, apakah mereka bagian dari solusi dengan melakukan praktik keuangan berkelanjutan yang sejati?,” ujar dia dengan nada tanya.

Saat ini ada empat bank di Indonesia yang masih mendanai proyek energi kotor batu bara, penyebab krisis iklim. Bank-bank itu adalah BNI, Mandiri, BRI, dan BCA.

Menurut Pius Ginting, Koordinator Perkumpulan AEER, pinjaman bank dalam negeri terhadap industri batu bara masih lebih tinggi, yakni sebanyak Rp89 triliun dalam periode 2018 – 2020 dibanding pinjaman ke energi terbarukan ‘hanya’ sebanyak Rp21,5 triliun.

“Pinjaman terhadap industri batu bara memang harus dihentikan dari sekarang,” tegasnya.

Menurut Interim Indonesia Team Leader 350.Org, Firdaus Cahyadi, peran perbankan dalam mendanai krisis iklim melalui pendanaan ke energi kotor batu bara sangat mengecewakan.

“Kebijakan mereka mendanai batu bara sangat mengecewakan kita semua, termasuk nasabah-nasabah keempat bank itu,” ujar Firdaus Cahyadi. “BNI, misalnya, beberapa kali mengklaim mendukung upaya pengurangan gas rumah kaca, penyebab krisis iklim, namun ternyata masih mendanai batu bara. Ini sungguh mengecewakan,” tegasnya.

Menurut jurnalis lingkungan senior Brigitta Isworo Laksmi, keterlibatan masyarakat, termasuk masyarakat adat, juga diperlukan dalam mengatasi krisis iklim.

“Dalam laporan IPCC yang berkaitan dengan dampak, adaptasi, dan kerentanan ini ditekankan pentingnya peran masyarakat adat dan masyarakat lokal karena mereka memiliki pengetahuan tentang dunia, tentang alam,” ujar Brigitta. “Penting untuk melibatkan mereka karena mereka yang tahu cara mengatasi krisis iklim.”

Menurutnya, Indonesia memiliki demikian banyak masyarakat adat, mestinya bisa mengambil langkah strategis dengan melibatkan mereka dalam merencanakan pembangunan untuk ketahanan iklim atau climate resilient development.(red)